Kamis, 25 Juni 2015

GASTROENTERITIS



PENDAHULUAN
Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit yang sangat sering dijumpai dan menyebabkan mortalitas yang berarti pada negara berkembang dan menjadi beban ekonomi pada negara maju. Di dunia penyakit ini mengenai 3-5 miliar anak setiap tahun dan menyebabkan sekitar 1,5-2,5 juta kematian per tahun atau merupakan 12 % dari seluruh penyebab kematian pada anak-anak pada usia di bawah 5 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini dapat dijumpai di seluruh daerah baik negara maju maupun  negara berkembang seperti Indonesia.


Di negara maju seperti Amerika Serikat, gastroenteritis akut merupakan salah satu alasan utama anak-anak dirawat di rumah sakit, dengan angka rawat jalan sekitar 4 juta per tahun, angka rawat inap 220.000 dan jumlah kematian sekitar 300 per tahun. Kasus gastroenteritis pada orang dewasa yang dirawat inap di Amerika Serikat juga meningkat kejadiannya seperti yang digambarkan dalam salah satu penelitian tentang peningkatan kejadian gastroenteritis selama tahun 1996-2007.
Di Indonesia gastroenteritis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Penyakit ini dalam beberapa tahun menjadi penyebab nomor satu pasien rawat inap di Indonesia.Berdasarkan data laporan rumah sakit di Indonesia tahun 2008, diare dan gastroenteritis akut merupakan penyakit urutan pertama yang menjadi penyebab pasien di rawat inap di rumah sakit dengan angka kejadian 200.412 kasus. Pada tahun 2010 diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu masih menduduki peringkat pertama penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di Indonesia yaitu sebanyak 96.278 kasus dengan angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) sebesar 1,92%. Penyakit ini juga menduduki peringkat kelima penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit Indonesia tahun 2010).
Di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan data dari dinas kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2013 terdapat 203.317 kasus diare di sarana kesehatan dengan angka kematian sebanyak 12 kasus. Di Medan pada tahun 2013 terdapat 26.243 kasus diare pada sarana kesehatan.

DEFINISI
Gastroenteritis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi pada membran mukosa saluran pencernaan dan ditandai dengan diare dan muntah.

ANATOMI
Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, dengan volume 1200-1500ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroesofageal junction disebut kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor, dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum.
            Secara anatomik, lambung terbagi atas 5 daerah (gambar 2.1.) yaitu: (1). Kardia, daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal junction; (2). Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction; (3). Korpus, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’; (4). Antrum pilori, adalah bagian 1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus hingga ke sphincter pilori; dan (5). Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus yang paling distal dari lambung. Bagian ini secara kelesulurhan dikelilingi oleh lapisan otot yang tebal dan berfungsi untuk mengontrol lewatnya makanan ke duodenum. Permukaan fundus dan korpus banyak dijumpai lipatan rugae lambung. Pembuluh darah yang mensuplai lambung merupakan percabangan dari arteri celiac, hepatik dan splenik. Aliran pembuluh vena lambung dapat secara langsung masuk ke sistem portal atau secara tidak langsung melalui vena splenik dan vena mesenterika superior. Nervus vagus mensuplai persyarafan parasimpatik ke lambung dan pleksus celiac merupakan inervasi simpatik. Banyak ditemukan pleksus saluran limfatik dan kelenjar getah bening  lainnya. Drainase pembuluh limfe di lambung terbagi atas empat daerah yaitu: (1). Kardia dan sebagian kurvatura minor ke kelenjar getah bening gastrik kiri; (2). Pilorik dan kurvatura minor distal ke kelenjar getah bening gastrik dan hepatik kanan; (3). Bagian proksimal kurvatura mayor ke kelenjar limfe pankreatikosplenik di hilum splenik; serta (4). Bagian distal kurvatura mayor ke kelenjar getah bening gastroepiploik di omentum mayor dan kelenjar getah bening pilorik di kaput pankreas.

ETIOLOGI
a.       Bakteri : Escherichia coli, Salmonella typi, Salmonella paratypi A, B, C, Shigella dysentri, Shigella flexneri, Vibrio cholera, Vibrio eltor, Vibrio parahemolytius, Clostridium perfringens, Campilobacter (Helico-bacter) jejuni, Staphylococcus, Streptococcus, Yersinia intestinal, Coccidiosis.
b.      Parasit, Protozoa : Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis isospora, Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris tichiura, Velmicularis, Strongyloides stercolaris, Taenia saginata, Taenia solium.
c.       Virus : rotavirus

PATOFISIOLOGI
Seluruh mekanisme yang menimbulkan gastritis erosif karena keadaan klinis yang berat belum diketahui benar. Faktor-faktor yang amat penting iskemia pada mukosa gaster, disamping faktor pepsin, refluks empedu dan cairan pankreas.
Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merusak mukosa lambung melaui beberapa mekanisme obat-obat ini dapat menghambat aktivitas siklooksigenase mukosa. Siklooksigenase merupakan enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa , aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.
Gastritis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif itu terdiri dari asam lambung, pepsin, AINS, empedu, infeksi virus, infeksi bakteri, bahan korosif: asam dan basa kuat. Sedangakan faktor defensive tersebut terdiri dari mukus, bikarbonas mukosa dan prostaglandin mikrosirkulasi.

PENATALAKSANAAN
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas, untuk mencegah komplikasi, dan mungkin mengurangi durasi penyakit.
a.       Antibiotik
  • Ciprofloxacin (Cipro)
Fluoroquinolones adalah agen pilihan untuk pengobatan empiris invasif pada pasien dewasa. Obat ini merupakan agen pilihan ketika pengobatan diindikasikan dan organisme yang terlibat diketahui Campylobacter, E coli (non-O157: H7), Salmonella nontyphoid, Shigella, atau Yersinia.
  • Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim)
Pilihan kedua yang sangat baik untuk terapi empiris, meskipun tidak efektif terhadap organisme Campylobacter.
  • Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
Antibiotik spectrum luas khusus untuk patogen enterik dari saluran pencernaan (yaitu, gram-positif, gram negatif, aerobik, dan anaerobik). Mengikat subunit-beta dari bakteri DNA-dependent RNA polimerase, sehingga menghambat sintesis RNA. Diindikasikan untuk E coli.
b.      Antiemetik
  • Proklorperazin (Compazine)
Obat antidopaminergic yang menghalangi postsynaptic reseptor dopamin mesolimbic. Memiliki efek antikolinergik dan dapat menekan reticular activating system, bertanggung jawab untuk menghilangkan mual dan muntah.
  • Prometazin (Phenergan)
Agen antidopaminergic efektif dalam pengobatan emesis. Blok postsynaptic reseptor dopaminergik mesolimbic di otak dan mengurangi rangsangan pada sistem reticular batang otak.
  • Ondansetron (Zofran)
Selektif antagonis reseptor 5-HT3 yang menghalangi serotonin baik perifer dan pusat. Diindikasikan untuk mual dan muntah akibat radiasi dan / atau kemoterapi dan mual dan muntah pasca operasi.
c.       Agen antidiare
  • Loperamide (Imodium)
Umumnya aman dan diindikasikan dalam pengobatan awal diare.
  • Difenoksilat HCl 2,5 mg / atropin sulfat 0,025 mg (Lomotil)
Setiap 5 cc Lomotil mengandung 2,5 mg diphenoxylate hidroklorida dan 0,025 mg atropin sulfat.

DAFTAR PUSTAKA
Diskin, Arthur. 2015. Emergent Treatment of Gastroenteritis Medication. Available From: http://emedicine.medscape.com/article/775277-medication.
Rudy.2003. Distribusi Penderita Gastroenteritis Pada Balita Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2002. Available From: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/34097
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC: Jakarta
Tarigan, Lusia. 2014. Gambaran Klinis Pasien Gastroenteritis Dewasa Yang Dirawat Inap Di Rsud Dr. Pirngadi Medan PeriodeJuni 2013 - Desember 2013. Available From: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/43345

GANGGUAN SOMATISASI



PENDAHULUAN
Ganguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” didapatkan dari kata bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Kata somatoform ini diambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki gejala fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun realitasnya tidaak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan.1


            Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis pada gangguan somatoform. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan sebagai Sindroma Briquet. Akan tetapi pada tahun 1994, sejak diperkenalkan Diagnostic and stastical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi keempat (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association, yang mana DSM IV ini menyederhanakan kriteria diagnostik yang diajukan di dalam DSM III. Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan peneritaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.2, 3
            Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,2 – 2%. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita dipopulasi umum adalah 1 – 2%. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan gangguan mental.4

DEFINISI
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat banyak dan meliputi berbagai organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan yang berlebihan.4

ETIOLOGI 4
a. Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Aspek pembelajaran (learning behavior) menekankan bahwa pengajaran dari orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi.
b. Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi. Terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahguna zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.

GAMBARAN KLINIS
Gangguan somatisasi ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter. Keluhan paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.5
            Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, cemas, dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi yang berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.4
            Kriteria dari gangguan somatisasi adalah onset dari gejala muncul sebelum usia 30 tahun, pada beberapa individu muncul pada dewasa muda ataupun dewasa pertengahan. Jika muncul gejala kurang lebih 6 bulan namun onsetnya pada usia lebih dari 30 tahun, atau beberapa gejala tidak dapat dibuktikan, maka didiagnosis dengan gangguan somatoform YTT.6

DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
a.       Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
b.      Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan:
1.      4 gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)
2.      2 gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa makanan berbeda)
3.      1 gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
4.      1 gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan)
c.       Salah satu dari:
1.      Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan zat, karena mediksi)
2.      Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
d.      Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).4
Diagnosis ganguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:
1.      Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2.      Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3.      Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.7

DIAGNOSIS BANDING
Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang mana dapat menjelaskan gejala pasien. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia gravis, dan lupus eritematosus sistemik kronis. Selain itu harus juga dibedakan dari gangguan hipokondrik dan gangguan somatoform yang lainnya.2
Pain Disorder
Penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan. Faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.2, 8

Body Dysmorphic Disorder
Pada gangguan ini, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah. Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin.2, 8
Gangguan Hipokondrik
Hipokondriasis adalah gangguan somatoform di mana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius di mana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan yang sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Pasien yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang sering kali menggunakan pelayanan kesehatan. 2, 8

PERJALANAN PENYAKIT
Ganggan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan.
            Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung 6 - 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari 1 tahun tanpa mencari suatu perhatian medis. Sering kali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.1

PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval 1 bulan. 1
            Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana. Strategi luas yang baik dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. 1
            Spesifik terapi dengan cognitive-behavior approach adalah efektif dan sering digunakan dalam membantu pasien untuk melihat gejala-gejala fisik yang dialaminya dan memahami keadaan gangguan yang dihadapinya. Selain itu, psikodinamik adalah berguna terhadap mengobati kasus yang lebih kompleks, dimana psikodinamik telah diaplikasikan dalam mencegah keparahan gangguan psikologikal pasien dan juga dapat mencegah beberapa penyakit psikiatrik lainnya. Intervensi ini harus dimonitor bersama-sama oleh para konselor – perawat, dan kelompok ahli sesuai profesinya. Kajian ini membuktikan bahwa dengan terapi psikodinamik ini telah dapat menurunkan gejala-gejala psikiatrik dan mampu meningkatkan kualiti hidup pasien. Walau bagaimanapun, tidak semua pasien mau diterapi psikodinamik ini.5
            Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan ganguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas). Obat anti depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala somatik termasuk rasa sakit dan insomnia.5
            Medikasi harus dimonitor karena pasien dnegan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya. 5

DAFTAR PUSTAKA

1.      Sadock BJ, Sadock VA (ed). Kaplan & Saddock ‘s synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. 10th ed. Jakarta: EGC. 2007
2.      American Psychiatry Asociation. Diagnostic and statistical manual of mental disorder fourth edition. Washington, DC: American Psychiatric Asociation; 2005
3.      Shorter, Edward. A Historical Dictionary of Psychiatry. New york: Oxford University Press. Inc; 2005
4.      Hadisukanto, G. Gangguan Somatisasi. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013
5.      Spratt, Eve G. Somatization Disorder; 2014. Available from: www.emedicine.medscape.com
6.      Tasman A. Clinical Guide To The Diagnosis And Treatment Of Mental Disorder. United State: John Willey and Sons
7.      Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001