PENDAHULUAN
Ganguan somatisasi telah dikenal sejak
zaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu
keadaan yang diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” didapatkan
dari kata bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Kata somatoform ini diambil dari
bahasa Yunani soma, yang berarti
“tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki gejala fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun realitasnya tidaak ada abnormalitas
organik yang dapat ditemukan.1
Pada
tahun 1859 Paul Briquet, seorang
dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan
perjalanan penyakit yang biasanya kronis pada gangguan somatoform. Karena
pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan sebagai Sindroma
Briquet. Akan tetapi pada tahun 1994, sejak diperkenalkan Diagnostic and stastical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi
keempat (DSM-IV) oleh American
Psychiatric Association, yang mana DSM IV ini menyederhanakan kriteria
diagnostik yang diajukan di dalam DSM III.
Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan peneritaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk
berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform
adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.2,
3
Prevalensi
gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,2 – 2%. Prevalensi
gangguan somatisasi pada wanita dipopulasi umum adalah 1 – 2%. Rasio penderita
wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai
pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). Beberapa peneliti menemukan
bahwa gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan gangguan mental.4
DEFINISI
Gangguan somatisasi adalah gangguan
dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat
banyak dan meliputi berbagai organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf,
dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis berkaitan
dengan stressor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial
dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan yang berlebihan.4
ETIOLOGI
4
a. Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk
menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Aspek
pembelajaran (learning behavior)
menekankan bahwa pengajaran dari orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak
untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur dan etnik juga ikut
terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi.
b. Faktor Biologis
Data
genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi.
Terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalahguna zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada
kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.
GAMBARAN
KLINIS
Gangguan somatisasi ini ditandai dengan
adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai
semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya
keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah
sering pergi ke berbagai macam dokter. Keluhan paling sering biasanya
berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, mual
dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, dan
pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem
tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau
nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual
dan gangguan haid.5
Penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal menonjol, cemas, dan depresi merupakan gejala psikiatri yang
paling sering muncul. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik,
dengan muatan emosi yang berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri,
terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.4
Kriteria
dari gangguan somatisasi adalah onset dari gejala muncul sebelum usia 30 tahun,
pada beberapa individu muncul pada dewasa muda ataupun dewasa pertengahan. Jika
muncul gejala kurang lebih 6 bulan namun onsetnya pada usia lebih dari 30
tahun, atau beberapa gejala tidak dapat dibuktikan, maka didiagnosis dengan
gangguan somatoform YTT.6
DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan somatisasi menurut
DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan
gangguan, keluhan pasien harus memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala
gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak
satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut
kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
a. Riwayat
banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
b. Tiap
kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan dari gangguan:
1. 4
gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau fungsi
yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum,
selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)
2. 2
gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain
nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau
intoleransi beberapa makanan berbeda)
3. 1
gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain
nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak
teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
4. 1
gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit
pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas
pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis
atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan,
afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi rasa sakit dan raba,
penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia,
hilang kesadaran bukan karena pingsan)
c. Salah
satu dari:
1. Setelah
penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat sepenuhnya
dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari
zat (mis: penyalahgunaan zat, karena mediksi)
2. Apabila
terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial
atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan
berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
d. Gejala-gejalanya
tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan
atau berpura-pura).4
Diagnosis
ganguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:
1. Ada
banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan
fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2. Selalu
tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3. Terdapat
disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan
sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.7
DIAGNOSIS
BANDING
Klinisi harus selalu menyingkirkan
kondisi medis nonpsikiatrik yang mana dapat menjelaskan gejala pasien. Gangguan
medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia gravis, dan lupus
eritematosus sistemik kronis. Selain
itu harus juga dibedakan dari gangguan hipokondrik dan gangguan somatoform yang
lainnya.2
Pain Disorder
Penderita mengalami
rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan. Faktor
psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan
tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan
menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat
berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu
dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan
perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.2, 8
Body Dysmorphic Disorder
Pada gangguan ini, individu diliputi
dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di
bagian wajah. Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif
akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya
dengan berkaca di cermin.2, 8
Gangguan
Hipokondrik
Hipokondriasis adalah gangguan
somatoform di mana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang
serius di mana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis
menyatakan yang sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya
dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Pasien yang
mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang sering kali menggunakan
pelayanan kesehatan. 2, 8
PERJALANAN
PENYAKIT
Ganggan somatisasi merupakan gangguan
yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering
kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan
keluarga yang berkepanjangan.
Episode
peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan
berlangsung 6 - 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang
simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan
gangguan somatisasi berjalan lebih dari 1 tahun tanpa mencari suatu perhatian
medis. Sering kali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau
stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.1
PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gangguan somatisasi paling
baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat
kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan
terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval 1 bulan. 1
Jika
gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus
mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai
keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki
penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu
diperiksa dan sampai sejauh mana. Strategi luas yang baik dokter perawatan
primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor
psikologis terlibat dalam gejala penyakit. 1
Spesifik
terapi dengan cognitive-behavior approach
adalah efektif dan sering digunakan dalam membantu pasien untuk melihat
gejala-gejala fisik yang dialaminya dan memahami keadaan gangguan yang
dihadapinya. Selain itu, psikodinamik adalah berguna terhadap mengobati kasus
yang lebih kompleks, dimana psikodinamik telah diaplikasikan dalam mencegah
keparahan gangguan psikologikal pasien dan juga dapat mencegah beberapa
penyakit psikiatrik lainnya. Intervensi ini harus dimonitor bersama-sama oleh
para konselor – perawat, dan kelompok ahli sesuai profesinya. Kajian ini
membuktikan bahwa dengan terapi psikodinamik ini telah dapat menurunkan
gejala-gejala psikiatrik dan mampu meningkatkan kualiti hidup pasien. Walau
bagaimanapun, tidak semua pasien mau diterapi psikodinamik ini.5
Pengobatan
psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan
ganguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata,
gangguan anxietas). Obat anti depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala
somatik termasuk rasa sakit dan insomnia.5
Medikasi
harus dimonitor karena pasien dnegan gangguan somatisasi cenderung menggunakan
obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya. 5
DAFTAR
PUSTAKA
1. Sadock
BJ, Sadock VA (ed). Kaplan & Saddock ‘s synopsis of psychiatry: behavioral
sciences/clinical psychiatry. 10th ed. Jakarta: EGC. 2007
2. American
Psychiatry Asociation. Diagnostic and statistical manual of mental disorder
fourth edition. Washington, DC: American Psychiatric Asociation; 2005
3. Shorter,
Edward. A Historical Dictionary of Psychiatry. New york: Oxford University
Press. Inc; 2005
4. Hadisukanto,
G. Gangguan Somatisasi. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013
6. Tasman
A. Clinical Guide To The Diagnosis And Treatment Of Mental Disorder. United
State: John Willey and Sons
7. Maslim,
Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar