Kamis, 25 Juni 2015

GANGGUAN SOMATISASI



PENDAHULUAN
Ganguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” didapatkan dari kata bahasa Yunani untuk rahim, Hystera). Kata somatoform ini diambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki gejala fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun realitasnya tidaak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan.1


            Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis pada gangguan somatoform. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan sebagai Sindroma Briquet. Akan tetapi pada tahun 1994, sejak diperkenalkan Diagnostic and stastical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi keempat (DSM-IV) oleh American Psychiatric Association, yang mana DSM IV ini menyederhanakan kriteria diagnostik yang diajukan di dalam DSM III. Gejala dan keluhan somatik ini cukup serius untuk menyebabkan peneritaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.2, 3
            Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,2 – 2%. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita dipopulasi umum adalah 1 – 2%. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan gangguan mental.4

DEFINISI
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat banyak dan meliputi berbagai organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan yang berlebihan.4

ETIOLOGI 4
a. Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Aspek pembelajaran (learning behavior) menekankan bahwa pengajaran dari orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi.
b. Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi. Terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahguna zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.

GAMBARAN KLINIS
Gangguan somatisasi ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter. Keluhan paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.5
            Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, cemas, dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi yang berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.4
            Kriteria dari gangguan somatisasi adalah onset dari gejala muncul sebelum usia 30 tahun, pada beberapa individu muncul pada dewasa muda ataupun dewasa pertengahan. Jika muncul gejala kurang lebih 6 bulan namun onsetnya pada usia lebih dari 30 tahun, atau beberapa gejala tidak dapat dibuktikan, maka didiagnosis dengan gangguan somatoform YTT.6

DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
a.       Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
b.      Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan pun selama perjalanan dari gangguan:
1.      4 gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air kecil)
2.      2 gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau intoleransi beberapa makanan berbeda)
3.      1 gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
4.      1 gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan)
c.       Salah satu dari:
1.      Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria b tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat (mis: penyalahgunaan zat, karena mediksi)
2.      Apabila terdapat konsisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
d.      Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).4
Diagnosis ganguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:
1.      Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2.      Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3.      Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.7

DIAGNOSIS BANDING
Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang mana dapat menjelaskan gejala pasien. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia gravis, dan lupus eritematosus sistemik kronis. Selain itu harus juga dibedakan dari gangguan hipokondrik dan gangguan somatoform yang lainnya.2
Pain Disorder
Penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan. Faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat.2, 8

Body Dysmorphic Disorder
Pada gangguan ini, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah. Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin.2, 8
Gangguan Hipokondrik
Hipokondriasis adalah gangguan somatoform di mana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius di mana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan yang sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Pasien yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang sering kali menggunakan pelayanan kesehatan. 2, 8

PERJALANAN PENYAKIT
Ganggan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan.
            Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung 6 - 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari 1 tahun tanpa mencari suatu perhatian medis. Sering kali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.1

PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval 1 bulan. 1
            Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana. Strategi luas yang baik dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. 1
            Spesifik terapi dengan cognitive-behavior approach adalah efektif dan sering digunakan dalam membantu pasien untuk melihat gejala-gejala fisik yang dialaminya dan memahami keadaan gangguan yang dihadapinya. Selain itu, psikodinamik adalah berguna terhadap mengobati kasus yang lebih kompleks, dimana psikodinamik telah diaplikasikan dalam mencegah keparahan gangguan psikologikal pasien dan juga dapat mencegah beberapa penyakit psikiatrik lainnya. Intervensi ini harus dimonitor bersama-sama oleh para konselor – perawat, dan kelompok ahli sesuai profesinya. Kajian ini membuktikan bahwa dengan terapi psikodinamik ini telah dapat menurunkan gejala-gejala psikiatrik dan mampu meningkatkan kualiti hidup pasien. Walau bagaimanapun, tidak semua pasien mau diterapi psikodinamik ini.5
            Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan ganguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas). Obat anti depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala somatik termasuk rasa sakit dan insomnia.5
            Medikasi harus dimonitor karena pasien dnegan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya. 5

DAFTAR PUSTAKA

1.      Sadock BJ, Sadock VA (ed). Kaplan & Saddock ‘s synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. 10th ed. Jakarta: EGC. 2007
2.      American Psychiatry Asociation. Diagnostic and statistical manual of mental disorder fourth edition. Washington, DC: American Psychiatric Asociation; 2005
3.      Shorter, Edward. A Historical Dictionary of Psychiatry. New york: Oxford University Press. Inc; 2005
4.      Hadisukanto, G. Gangguan Somatisasi. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013
5.      Spratt, Eve G. Somatization Disorder; 2014. Available from: www.emedicine.medscape.com
6.      Tasman A. Clinical Guide To The Diagnosis And Treatment Of Mental Disorder. United State: John Willey and Sons
7.      Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar